Rabu, 29 November 2017

PLURALISME DAN GENDER




Penjabaran mengenai Pluralisme
Pluralisme merupakan sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok yang menunjukan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama serta membuahkan hasil tanpa konflik. Dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan lebih tersebar. Namun  jika toleransi diartikan secara bebas maka makna toleransi itu bukan bebas, tapi hanya sebatas mu’amalah saja, itupun jika mereka tidak mengganggu kita .
Dalam pandangan Shihab (1999: 41) konsep pluralisme dalam teologi dan sikap keberagamaan dapat ditunjukan dengan hal-hal sebagai berikut :
·         Pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang kemajemukan, namun juga adanya keterlibatan dengan mengambil peran berinteraksi positif dalam kenyataan kemajemukan itu.
·         Pluralisme harus dibedakan dengan menunjukan pada realitas dimana terdapat keanekaragaman yang satu sama lain dapat mengadakan interaksi secara intensif. Oleh karena itu pluralisme tidak sama dengan relativisme yang memandang setiap agama harus dinyatakan sama benarnya, pluralisme agama bukanlah sinkritisme, yaitu menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran-ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama-agama baru tersebut.
Idiologi pluralisme memang diperlukan untuk meminimalisasi atau mencegah konflik dan sekaligus menciptakan harmoni antar pemeluk agama-agama dengan berpegang pada kesadaran bahwa setiap pemeluk agama dibiarkan memiliki komitmen yang kokoh atas agama masing-masing tanpa harus mengarah pada relativisme dan sinkritisme.
Masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat atas berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada , tanpa adanya  rintangan-rintangan sistematik yang mengakibatkan terhalang nya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. Pluralisme mengajarkan kepada kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat untuk meingkatkan kualitas daya saing masing-masing kelmpok. Dibalik gagasan pluralisme lahir nya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguh nya didasarkan pada sejumlah faktor . Dua diantaranya adalah:
Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi jalan keselamatan.  Masing-masing   pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah umat pilihan, Menurut kaum pluralis, keyakinan –keyakinan inilah yang sering memicu terjadinya kerenggangan , perpecahan bahkan konflik antar pemeluk agama . Karena itu menurut mereka diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak lagi berwajah ekslusif dan tidak  memicu konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia . Selain isu-isu demokrasi , hak asasi manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia , pluralisme agama adalah sebuah gagasan yang terus disuarakan kapitalisme global yang digalang oleh Amerika Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam . Karena itu jika ditinjau dari segi sejarah , faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan pluralisme agama.

Pluralisme Agama
       Pluralisme agama adalah istilah khusus dalam kajian agama. Sebagai terminologi khusus, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ dan sebagainya. Menurut Alwi Shihab,  “Pluralisme agama adalah bahwa tiap pe­meluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan per­samaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan”.[1] Sebagai satu paham yang membahas cara pandang terhadap agama yang ada, istilah Pluralisme Agama telah menjadi pembahasan panjang dikalangan para ilmuwan dalam studi agama.
Ø  Pandangan Kristen
            Paus Yohanes Paulus II(2000) mengeluarkan  Dektrin Dominus Jenus yaitu menjelaskan bahwa selain menolak paham Pluralisme Agama juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan iahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.
Ø  Pandangan Islam
            Pandangan sekulerisme, Pluralisme (Agama). Dan Liberalisme bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam untuk memeluk nya. Umat Islam di indonesia sepakat dengan memberi fatwa faham Pluralisme agama adalah haram.
Ø  Pandangan Hindu
            Setiap kali orang Hindu mendukung universalisme Radikal dan secara bombastik memproklamasikan bahwa ‘’semua agama adlah sama’’, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai (Dr. Frank Gaetano,Morales, cendekiawan Hindu).
Dalam menyikapi pluralisme beragama, Sikap yang seharusnya dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai agama lain berdasarkan standar  mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Melalui pe­mahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewu­judkan kehidupan yang damai seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif ,tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif. Yakni toleransi yang mengajak setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat mengembangkannya.  Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh Kuntowijoyo.[2] Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan kehidupan yang damai akan tercipta toleransi antar umat beragama di indonesia.

Pluralisme Sosial
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain, dengan hidup bersama serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Beberapa poin untuk menjadi pemahaman, yaitu :
·         Pluralisme tidak berisi keragaman semata tetapi keterlibatan energi dengan keanekaragaman. Keanekaragam agama adalah pemberian, tetapi pluralisme bukan pemberian, melainkan sebuah pencapaian atau prestasi.
·         Pluralisme bukan sekear toleransi tetapi pencarian aktif tentang pemahaman lintas perbedaan.
·         Pluralisme bukan relativisme, tetapi perjumpaan komitmen. Yaitu, pluralisme tidak mengharuskan kita untuk meninggalkan identitas dan komitmen kita, bahkan perbedaan agama kita, bukan dalam ketertutupan melainkan dalam keterhubungan satu sama lain.
·         Pluralisme didasarkan pada dialog. Bahasa pluralisme adalah dialog dan pertemuan, memberi dan menerima, kritik dan kritik diri. Dialog berarti saling berbicara dan mendengarkan dan proses yang mengungkap baik pemahaman umum maupun perbedaan nyata.
Pluralisme Ilmu Pengetahuan
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme adalah proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.

Pelapisan sosial sebagai ciri pluralisme
            Dalam masyarakat terdapat pelapisan-pelapisan atau lebih dikenal sebagai pelapisan sosial. Pelapisan masyarakat telah terjadi sejak zaman dahulu, seperti :
a.       Adanya kelompok berdasarkan jenis kelamin dan umur dengan pembedaan hak dan kewajiban.
b.      Adanya kelompok pemimpin suku yang berpengaruh dan memiliki hak istimewa.
c.       Adanya kelompok pemimpin yang paling berpengaruh.
d.      Adanya kelompok orang yang dikucilkan diluar kasta dan orang-orang yang diluar perlindungan hukum (cutlaw men).
e.       Adanya kelompok pembagian kerja didalam suku itu sendiri.
f.       Adanya kelompok pembelaan standar ekonomi dan didalam ketidaksamaan ekonomi itu sendiri.
            Perbedaan pembagian kedudukan tersebut menggambarkan bahwa pluralisme terjadi disebabkan dari berbagai hal, yang segala sesuatunya berkaitan pada kondisi yang ada. Dari pelapisan tersebut dapat dilihat unsur-unsur pluralisme, antara lain :
·         Jenis kelamin.
·         Suku bangsa.
·         Agama.
·         Kebudayaan.
·         Keadaan ekonomi.
·         Pengaruh dalam masyarakat.
·         Asal-usul keturunan.
·         Tingkat pendidikan dan lain sebagainya
            Seringkali perbedaan dalam pluralisme menimbulkan konflik dan perpecahan, yang mampu menghilangkan kebersamaan dan persatuan. Diperlukan kesadaran tinggi untuk mengamankan perbedaan agar mampu memberi kedamaian dalam kehidupan yang beragam, sehingga ketidaksamaan keadaan justru memberi kekayaan pengetahuan bagi manusia, dan mendukung tercapainya pluralisme yang bermanfaat.

Polemik Pluralisme di Indonesia
            Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awal nya, sehingga memiliki arti :
a.       Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial cultural.
b.      Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
c.       Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai.
Jika melihat kepada ide dan konteks yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralisme sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris, dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.[3] Identik dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, penda­pat orang tentang istilah ini juga beraneka ragam pula. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti  terdiri dari banyak hal jenis, berbagai sudut pandang serta latar belakang.[4]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Para tokoh filsafat yunani meneliti secara tekun dan cermat secara lebih jauh mengenai pluralitas secara konseptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Hal itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, umat manusia telah menjalani ke­hidupan yang pluralistik secara alamiah. Kehidupan mengalir apa adanya tanpa ada prasangka dan perhitungan-perhitungan lain yang lebih rumit. Persoalan menyeruak ketika berbagai kepentingan dan pertimbangan menempel dalam pola interaksi antar manusia. Apalagi jika kepentingan itu lebih menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang tak terelakkan.
Gesekan dan konflik memang kerap terjadi kerena memang hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih dalam tahap terkendali. Keadaan berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi pemenuhan kepentingan bersama. Hampir tidak mungkin sebuah masyarakat yang plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di sini memang tidak identik dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja tidak muncul kepermukaan karena diredam, tetapi keberadaannya tak akan hilang sama sekali.
  
 Gender
Gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin adalah kodrat manusia, laki-laki atau perempuan, yang merupakan pemberian Tuhan sejak dalam kandungan, dan tidak bisa ditukarkan satu sama lain.[5] Masih sering dijumpai dalam masyarakat, terutama masyararakat awam, bahwa gender disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Penafsiran terhadap konsep kodrat pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara keliru dapat memunculkan pembagian peran secara seksual yang tidak seimbang dan bias.
Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai sesuatu bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang kodrati  tersebut dapat dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identik dengan urusan rumah tangga semata, sedangkan laki-laki sebaliknya identik dengan pengelola dan penanggung jawab urusan ekonomi. Ketimpangan tersebut terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan timbal balik yang menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga mengakibatkan adanya pembagian peran, dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Dalam kehidupan sosial misalnya, berkembangan anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan,karena laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional. Semua anggapan superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya belaka. Produk atau konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender.

Gender sebagai Fenomena Sosial Budaya
Secara sosial budaya, Mansour Faqih (1996), ketidakadilan gender dapat dilihat dalam berbagai bentuk:
1)      Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan  perempuan dari kepemilikan akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya kesempatan perempuan untuk meneruskan   sekolah ke jenjang lebih tinggi cenderung lebih kecil ketimbang laki-laki. Di sektor pekerjaan, marginalisasi ini biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan tertentu; peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil, berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan, pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah perempuan. Hal ini terjadi karena sedikit perempuan yang mendapatkan peluang pendidikan. Peminggiran dapat terjadi dirumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh Negara yang bersumber keyakinan, tradisi atau kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
2)      Tersubordinasi, yakni menempatkan perempuan pada prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan mendapatkan posisi yang  sejajar dengan laki-laki.
3)      Stereotipisasi perempuan, yakni percitraan atas perempuan yang berkonotasi negatif. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnya perempuan sering kali dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan penggoda.
4)      Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini timbul akibat anggapan umum bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor kehidupan. 
5)      Beban kerja yang tidak proporsional, yakni bahwa perempuan selain menjalankan tugas-tugas kodrati juga masih dibebani dengan setumpuk pekerjaan rumah dalam waktu yang tidak terbatas. Pandangan ini tidak saja meminggirkan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan : selain  menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestik lainnya seperti memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya.

Manifiestasi Gender Pada Posisi Kaum Perempuan
Kita telah menyadari bahwa perbedaan gender (gender differences) telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalitces) dan ternyata perbedaan gender ini mengakibatkan lahirnya sifat yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Dalam proses yang panjang akhirnya telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi peran-peran anatara lain:
·         Perbedaan dan pembagian gender yang mengakibatkan terwujudnya posisi kedudukan kaum perempuan dihadapan laki-laki. Terwujudnya posisi kedudukan ini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Meskipun jumlahnya 50% dari penduduk bumi, namun posisi kaum perempuan ditentukan dan dipimpin oleh kaum laki-laki. Subordinasi tersebut tidak saja secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat maupun masing-masing rumah tangga, tetapi juga secara global. Banyak sekali contoh kasus, baik dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun dalam aturan birokrasi dimana kaum perempuan diletakkan dalam posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki. Contohnya; persyaratan bagi perempuan yang hendak menunaikan tugas belajar keluar negeri, ia harus mendapat izin dari suaminya, tapi sebaliknya suami tidak perlu persyaratan izin dari isteri.
·         Secara ekonomis, perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang dikenal dengan Revolusi Hijau. Kaum perempuan secara sistematis disingkirkan dan dimiskinkan. Dengan hanya mengakui laki-laki sebagai kepala Rumah Tangga program indrustrialisasi pertanian secara sistematis menghalangi, tidak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan dalam bidang pertanian atau pun akses kredit, perlakuan semacam itu secara tidak terasa menggusur keberadaan kaum perempun yang selalu tidak  produktif (dianggap bernilai rendah) sehingga mendapat imbalan ekonomis lebih rendah.
·         Perbedaan dan pembagian gender juga membentuk penandaan terhadap kaum perempuan yang berakibat pada penindasan terhadap mereka. Penilaian sesorang hanya dalam persepsi belaka merupakan satu bentuk penindasan ideology, cultural, yakni pemberian label yang memojokkan kaum perempuan, sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan. Misalnya stereotif kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” sangat merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis, ataupun dipemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan. Sementara stereotype laki-laki sebagai “pencari nafkah” mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh kaum perempuan dianggap sebagai “sambilan atau tambahan” dan cenderung tidak dihitung, tidak dihargai.
·         Perbedaan dan pembagian gender juga membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras keringat jauh lebih panjang (double-burden) pada umumnya, disuatu rumah tangga ada beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki beberapa pekerjaan yang dilakukan perempuan. Pada kenyataannya, dalam banyak observasi yang dilakukan menunjukkan bahwa hampir 90% pekerjaan domistik dikerjakan oleh perempuan. Terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja seperti buruh industtri ataupun profesi lainnya. Artinya mereka memiliki peran ganda (beban kerja dirumah tangga dan diluar rumah).
·         Perbedaan gender tersebut juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap kaum perempuan, baik secara fisik ataupun secara mental. Keberagaman bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam berbagai bentuk, yaitu bersifat fisik seperti, pemerkosaan, persetubuhan, antara anggota keluarga (incest) pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih sadis lagi pemotongan alat genital perempuan dan lain sebagainya. Kekerasan dalam bentuk nonfisik, yang sering terjadi misalnya pelecehan seksual, menyebabkan ketidak nyamanan bagi perempuan secara emosional.
Perbedaan dan pembagian gender dengan segenap manifestasinya, diatas mengakibatkan tersosialisasinya citra, posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan yang ada. Dengan kata lain segenap manifiestasi ketidakadilan gender itu sendiri merupakan proses penjinakan (cooptatior) peran gender perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti ini sebagai sesuatu yang normal dan kodrarti.


Hierarki Gender
Gender tidak bersifat universal, tetapi hirearki gender dapat dikatakan universal, oleh karena kedudukan perempuan tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah konsep gender secara garis besar. Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hirearki gender dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1)      Teori adaptasi awal
Teori adaptasi awal menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan awal dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut :
·         Berburu sangat penting bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.
·         Laki-lakilah yang hampir selalu melakukan kegiatan berburu.
·         Perempuan tergantung pada laki-laki untuk mendapatkan daging.
·         Laki-laki berbagi daging buruannya terutama dengan isterinya dan anak-anaknya.
·         Sekali pola pembagian peran berdasarkan jenis kelamin itu terbentuk, tidak  berubah hingga sekarang.
2)      Teori teknik lingkungan
Teori ini berdasarkan pada apa yang dianggap sebagai hukum alam, yaitu kelangkaan sumber daya dan tekanan penduduk. Teori ini menjelaskan bahwa upaya untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah menjadi masalah sejak dulu, dalam konteks ini subordinasi perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.
3)      Teori  sosiobiologi
Menurut teori ini laki-laki muncul akibat  seleksi alam terutama ketahanan tubuh.
4)      Teori sruktural
Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah kultural sekaligus Universal. Salah satu kelompok teori yang masuk golongan struktural ini beranggapan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah dan otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Dengan demikian status relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena publik   dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik. Kelompok lain dari teori struktural berpendapat bahwa subordinasi itu struktural, akan tetapi ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender.pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolik yang universal  antara perempuan dengan alam dan laki-laki dengan budaya.
Dalam wacana hubungan Islam dan  kesetaraan Gender perempuan, Islam  memandang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Kualitas manusia dalam Islam terletak pada prestasi seseorang  mengenal perbedaan jenis kelamin. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah (QS.4: 3). Islam mengakui kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya diciptaka dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak memiliki keunggulan atas yang lain.
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender. Pandangan-pandangan yang mengandung bias negatif terhadap perempuan, dan sering dinilai sebagai pandangan ajaran islam, adalah tidak lain bersumber dari budaya patriak yang menempatkan posisi sosial-politik laki-laki diatas perempuan, yang kemudian menjadi tafsir keagamaan yang dijadikan legimitasi untuk mendominasi atas peran perempuan. Reorientasi pemahaman agama harus dilakukan  supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran perempuan pada proporsi  benar.


[1]Alwi Shihab, Islam…,340
[2]Bachtiar Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural Societies; Pengalaman Indonesia Inggris,  ed. Raja Juli Antoni (Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 2002), 239-249.
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Polemik_pluralisme_di_Indonesia
[4] Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm, 7.
[5] Tusriyanto, M.Pd, Buku Ajar PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn),( Metro; 2013),hlm. 269

Tidak ada komentar:

Posting Komentar