Penjabaran mengenai Pluralisme
Pluralisme merupakan sebuah kerangka dimana ada
interaksi beberapa kelompok yang menunjukan rasa saling menghormati dan
toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama serta membuahkan hasil tanpa
konflik. Dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan lebih
tersebar. Namun jika toleransi diartikan
secara bebas maka makna toleransi itu bukan bebas, tapi hanya sebatas mu’amalah
saja, itupun jika mereka tidak mengganggu kita .
Dalam pandangan Shihab (1999: 41) konsep pluralisme
dalam teologi dan sikap keberagamaan dapat ditunjukan dengan hal-hal sebagai
berikut :
·
Pluralisme tidak
semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang kemajemukan, namun juga adanya
keterlibatan dengan mengambil peran berinteraksi positif dalam kenyataan
kemajemukan itu.
·
Pluralisme harus
dibedakan dengan menunjukan pada realitas dimana terdapat keanekaragaman yang
satu sama lain dapat mengadakan interaksi secara intensif. Oleh karena itu
pluralisme tidak sama dengan relativisme yang memandang setiap agama harus
dinyatakan sama benarnya, pluralisme agama bukanlah sinkritisme, yaitu
menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau
sebagian komponen ajaran-ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral
dari agama-agama baru tersebut.
Idiologi pluralisme memang diperlukan untuk
meminimalisasi atau mencegah konflik dan sekaligus menciptakan harmoni antar
pemeluk agama-agama dengan berpegang pada kesadaran bahwa setiap pemeluk agama
dibiarkan memiliki komitmen yang kokoh atas agama masing-masing tanpa harus
mengarah pada relativisme dan sinkritisme.
Masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat
atas berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat
bergabung dengan kelompok yang ada , tanpa adanya rintangan-rintangan sistematik yang
mengakibatkan terhalang nya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan
kelompok tertentu. Pluralisme mengajarkan kepada kelompok-kelompok yang ada
dalam masyarakat untuk meingkatkan kualitas daya saing masing-masing kelmpok. Dibalik
gagasan pluralisme lahir nya gagasan mengenai pluralisme (agama) sesungguh nya didasarkan
pada sejumlah faktor . Dua diantaranya adalah:
Pertama, adanya keyakinan masing-masing pemeluk agama
bahwa konsep ketuhanannyalah yang paling benar dan agamanyalah yang menjadi
jalan keselamatan. Masing-masing pemeluk agama juga meyakini bahwa merekalah
umat pilihan, Menurut kaum pluralis, keyakinan –keyakinan inilah yang sering memicu
terjadinya kerenggangan , perpecahan bahkan konflik antar pemeluk agama .
Karena itu menurut mereka diperlukan gagasan pluralisme sehingga agama tidak
lagi berwajah ekslusif dan tidak memicu
konflik.
Kedua, faktor kepentingan ideologis dari kapitalisme untuk melanggengkan dominasinya di dunia . Selain isu-isu demokrasi , hak asasi
manusia dan kebebasan serta perdamaian dunia , pluralisme agama adalah sebuah
gagasan yang terus disuarakan kapitalisme global yang digalang oleh Amerika
Serikat untuk menghalang kebangkitan Islam . Karena itu jika ditinjau dari segi
sejarah , faktor pertama bolehlah diakui sebagai alasan awal munculnya gagasan
pluralisme agama.
Pluralisme Agama
Pluralisme
agama adalah istilah khusus dalam kajian agama. Sebagai terminologi khusus,
istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna
istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ dan sebagainya. Menurut Alwi Shihab,
“Pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja
mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha
memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam
kebhinekaan”.[1]
Sebagai satu paham yang membahas cara pandang terhadap agama yang ada, istilah
Pluralisme Agama telah menjadi pembahasan panjang dikalangan para ilmuwan dalam
studi agama.
Ø Pandangan Kristen
Paus Yohanes Paulus II(2000) mengeluarkan Dektrin Dominus Jenus yaitu menjelaskan bahwa
selain menolak paham Pluralisme Agama juga menegaskan kembali bahwa Yesus
Kristus adalah satu-satunya pengantar keselamatan iahi dan tidak ada orang yang
bisa ke Bapa selain melalui Yesus.
Ø Pandangan Islam
Pandangan sekulerisme, Pluralisme (Agama). Dan
Liberalisme bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam untuk memeluk
nya. Umat Islam di indonesia sepakat dengan memberi fatwa faham Pluralisme
agama adalah haram.
Ø Pandangan Hindu
Setiap kali orang Hindu mendukung universalisme Radikal
dan secara bombastik memproklamasikan bahwa ‘’semua agama adlah sama’’, dia
melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai
(Dr. Frank Gaetano,Morales, cendekiawan Hindu).
Dalam menyikapi pluralisme beragama, Sikap yang seharusnya
dilakukan seseorang adalah dengan memahami dan menilai agama lain berdasarkan
standar mereka sendiri serta memberi peluang bagi mereka untuk
mengartikulasikan keyakinannya secara bebas. Melalui pemahaman tentang
pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan kehidupan yang damai
seperti inilah akan tercipta toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi
negatif ,tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif. Yakni toleransi yang
mengajak setiap umat beragama untuk jujur mengakui dan mengekspresikan
keberagamaannya tanpa ditutup-tutupi. Dengan demikian identitas masing-masing
umat beragama tidak tereliminasi, bahkan masing-masing agama dengan bebas dapat
mengembangkannya. Inilah toleransi yang dulu pernah dianjurkan oleh
Kuntowijoyo.[2]
Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan
kehidupan yang damai akan tercipta toleransi antar umat beragama di indonesia.
Pluralisme Sosial
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka
dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukan rasa saling
menghormati dan toleransi satu sama lain, dengan hidup bersama serta membuahkan
hasil tanpa konflik asimilasi. Dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan
penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Beberapa poin untuk
menjadi pemahaman, yaitu :
·
Pluralisme tidak berisi
keragaman semata tetapi keterlibatan energi dengan keanekaragaman. Keanekaragam
agama adalah pemberian, tetapi pluralisme bukan pemberian, melainkan sebuah
pencapaian atau prestasi.
·
Pluralisme bukan sekear
toleransi tetapi pencarian aktif tentang pemahaman lintas perbedaan.
·
Pluralisme bukan
relativisme, tetapi perjumpaan komitmen. Yaitu, pluralisme tidak mengharuskan
kita untuk meninggalkan identitas dan komitmen kita, bahkan perbedaan agama
kita, bukan dalam ketertutupan melainkan dalam keterhubungan satu sama lain.
·
Pluralisme didasarkan
pada dialog. Bahasa pluralisme adalah dialog dan pertemuan, memberi dan
menerima, kritik dan kritik diri. Dialog berarti saling berbicara dan
mendengarkan dan proses yang mengungkap baik pemahaman umum maupun perbedaan
nyata.
Pluralisme Ilmu Pengetahuan
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme adalah
proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan.
Pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi
bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan
lebih baiklah teknologi kedokteran. Pluralisme juga menunjukan hak-hak individu
dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.
Pelapisan sosial sebagai ciri pluralisme
Dalam masyarakat terdapat pelapisan-pelapisan
atau lebih dikenal sebagai pelapisan sosial. Pelapisan masyarakat telah terjadi
sejak zaman dahulu, seperti :
a. Adanya kelompok berdasarkan jenis kelamin dan
umur dengan pembedaan hak dan kewajiban.
b. Adanya kelompok pemimpin suku yang berpengaruh
dan memiliki hak istimewa.
c. Adanya kelompok pemimpin yang paling
berpengaruh.
d. Adanya kelompok orang yang dikucilkan diluar
kasta dan orang-orang yang diluar perlindungan hukum (cutlaw men).
e. Adanya kelompok pembagian kerja didalam suku itu
sendiri.
f. Adanya kelompok pembelaan standar ekonomi dan
didalam ketidaksamaan ekonomi itu sendiri.
Perbedaan pembagian kedudukan tersebut menggambarkan
bahwa pluralisme terjadi disebabkan dari berbagai hal, yang segala sesuatunya
berkaitan pada kondisi yang ada. Dari pelapisan tersebut dapat dilihat
unsur-unsur pluralisme, antara lain :
·
Jenis kelamin.
·
Suku bangsa.
·
Agama.
·
Kebudayaan.
·
Keadaan ekonomi.
·
Pengaruh dalam masyarakat.
·
Asal-usul keturunan.
·
Tingkat pendidikan dan lain sebagainya
Seringkali perbedaan dalam pluralisme menimbulkan konflik
dan perpecahan, yang mampu menghilangkan kebersamaan dan persatuan. Diperlukan
kesadaran tinggi untuk mengamankan perbedaan agar mampu memberi kedamaian dalam
kehidupan yang beragam, sehingga ketidaksamaan keadaan justru memberi kekayaan
pengetahuan bagi manusia, dan mendukung tercapainya pluralisme yang bermanfaat.
Polemik Pluralisme di Indonesia
Saat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awal nya, sehingga memiliki arti :
a.
Pluralisme diliputi semangat religius, bukan hanya sosial cultural.
b.
Pluralisme digunakan sebagai alasan pencampuran antar ajaran agama.
c.
Pluralisme digunakan sebagai alasan untuk mengubah ajaran suatu agama agar sesuai.
Jika melihat kepada ide dan konteks yang berkembang,
jelas bahwa pluralisme di Indonesia tidaklah sama dengan pluralisme sebagaimana
pengertian dalam bahasa Inggris, dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing
timbulnya reaksi dari berbagai pihak.[3] Identik
dengan istilah ‘pluralisme’ yang berarti ‘beragam’, pendapat orang tentang
istilah ini juga beraneka ragam pula. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural
pasti terdiri dari banyak hal jenis, berbagai sudut pandang serta latar
belakang.[4]
Istilah pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah
lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Para
tokoh filsafat yunani meneliti secara tekun dan cermat secara lebih jauh mengenai
pluralitas secara konseptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya. Hal
itu berarti bahwa isu pluralitas sebenarnya setua usia manusia. Dalam kehidupan
sehari-hari, umat manusia telah menjalani kehidupan yang pluralistik secara
alamiah. Kehidupan mengalir apa adanya tanpa ada prasangka dan perhitungan-perhitungan
lain yang lebih rumit. Persoalan menyeruak ketika berbagai kepentingan dan
pertimbangan menempel dalam pola interaksi antar manusia. Apalagi jika
kepentingan itu lebih menonjol, maka gesekan dan konflik adalah sesuatu yang
tak terelakkan.
Gesekan dan konflik memang kerap terjadi kerena memang
hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih
dalam tahap terkendali. Keadaan berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu
menyikapi dan mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi
sosial” bagi pemenuhan kepentingan bersama. Hampir tidak mungkin sebuah
masyarakat yang plural tak terlibat dan mengalami konflik. Konflik di sini
memang tidak identik dengan kerusuhan dan pertikaian. Konflik bisa saja tidak
muncul kepermukaan karena diredam, tetapi keberadaannya tak akan hilang sama
sekali.
Gender
Gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin
adalah kodrat manusia, laki-laki atau perempuan, yang merupakan pemberian Tuhan
sejak dalam kandungan, dan tidak bisa ditukarkan satu sama lain.[5] Masih
sering dijumpai dalam masyarakat, terutama masyararakat awam, bahwa gender
disamakan dengan jenis kelamin, padahal keduanya memiliki arti yang berbeda.
Penafsiran terhadap konsep kodrat pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan
secara keliru dapat memunculkan pembagian peran secara seksual yang tidak
seimbang dan bias.
Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan
umum masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut
sebagai sesuatu bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola
hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang
telah dianggap sebagai sesuatu yang kodrati tersebut dapat dilihat pada
anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identik dengan urusan rumah tangga
semata, sedangkan laki-laki sebaliknya identik dengan pengelola dan penanggung
jawab urusan ekonomi. Ketimpangan tersebut terjadi karena adanya aturan,
tradisi, dan hubungan timbal balik yang menentukan batas antara feminitas dan
maskulinitas sehingga mengakibatkan adanya pembagian peran, dan kekuasaan
antara perempuan dan laki-laki. Dalam kehidupan sosial misalnya, berkembangan
anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan,karena
laki-laki dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional. Semua anggapan
superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya belaka. Produk atau
konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender.
Gender sebagai Fenomena
Sosial Budaya
Secara sosial budaya, Mansour Faqih (1996), ketidakadilan
gender dapat dilihat dalam berbagai bentuk:
1) Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari kepemilikan
akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya
kesempatan perempuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi
cenderung lebih kecil ketimbang laki-laki. Di sektor pekerjaan, marginalisasi
ini biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan
tertentu; peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil,
berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan, pemusatan perempuan pada
jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan upah perempuan. Hal ini terjadi karena sedikit perempuan yang mendapatkan peluang
pendidikan. Peminggiran dapat terjadi dirumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan
oleh Negara yang bersumber keyakinan, tradisi atau kebiasaan, kebijakan
pemerintah, maupun asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
2) Tersubordinasi, yakni menempatkan perempuan pada prioritas yang lebih
rendah ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal
pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan mendapatkan posisi
yang sejajar dengan laki-laki.
3) Stereotipisasi perempuan, yakni percitraan atas perempuan yang berkonotasi
negatif. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnya perempuan sering kali
dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan penggoda.
4) Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini timbul akibat anggapan umum
bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor
kehidupan.
5) Beban kerja yang tidak proporsional, yakni bahwa perempuan selain
menjalankan tugas-tugas kodrati juga masih dibebani dengan setumpuk pekerjaan
rumah dalam waktu yang tidak terbatas. Pandangan ini tidak saja meminggirkan
peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan : selain
menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan menyusui,
perempuan juga dibebani pekerjaan domestik lainnya seperti memasak, mengurus
keluarga, dan sebagainya.
Manifiestasi Gender Pada Posisi Kaum Perempuan
Kita telah menyadari bahwa perbedaan gender (gender
differences) telah melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalitces) dan
ternyata perbedaan gender ini mengakibatkan lahirnya sifat yang oleh masyarakat
dianggap sebagai ketentuan kodrati atau bahkan ketentuan Tuhan. Dalam proses
yang panjang akhirnya telah mengakibatkan terkondisikannya beberapa posisi
peran-peran anatara lain:
·
Perbedaan dan pembagian
gender yang mengakibatkan terwujudnya posisi kedudukan kaum perempuan dihadapan
laki-laki. Terwujudnya posisi kedudukan ini berkaitan dengan politik terutama
menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan.
Meskipun jumlahnya 50% dari penduduk bumi, namun posisi kaum perempuan
ditentukan dan dipimpin oleh kaum laki-laki. Subordinasi tersebut tidak saja
secara khusus terdapat dalam birokrasi pemerintahan, masyarakat maupun
masing-masing rumah tangga, tetapi juga secara global. Banyak sekali contoh
kasus, baik dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun dalam aturan birokrasi
dimana kaum perempuan diletakkan dalam posisi yang lebih rendah dari kaum
laki-laki. Contohnya; persyaratan bagi perempuan yang hendak menunaikan tugas
belajar keluar negeri, ia harus mendapat izin dari suaminya, tapi sebaliknya
suami tidak perlu persyaratan izin dari isteri.
·
Secara ekonomis,
perbedaan dan pembagian gender juga melahirkan proses marginalisasi perempuan.
Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun
program-program pembangunan. Misalnya dalam program pertanian yang dikenal
dengan Revolusi Hijau. Kaum perempuan secara sistematis disingkirkan dan
dimiskinkan. Dengan hanya mengakui laki-laki sebagai kepala Rumah Tangga program
indrustrialisasi pertanian secara sistematis menghalangi, tidak memberi ruang
bagi kaum perempuan untuk mendapatkan pelatihan dalam bidang pertanian atau pun
akses kredit, perlakuan semacam itu secara tidak terasa menggusur keberadaan
kaum perempun yang selalu tidak
produktif (dianggap bernilai rendah) sehingga mendapat imbalan ekonomis
lebih rendah.
·
Perbedaan dan pembagian
gender juga membentuk penandaan terhadap kaum perempuan yang berakibat pada
penindasan terhadap mereka. Penilaian sesorang hanya dalam persepsi belaka merupakan
satu bentuk penindasan ideology, cultural, yakni pemberian label yang
memojokkan kaum perempuan, sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum
perempuan. Misalnya stereotif kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” sangat
merugikan mereka. Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang
dianggapnya sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis,
ataupun dipemerintahan, maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan
kodrat perempuan. Sementara stereotype laki-laki sebagai “pencari nafkah”
mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh kaum perempuan dianggap sebagai
“sambilan atau tambahan” dan cenderung tidak dihitung, tidak dihargai.
·
Perbedaan dan pembagian
gender juga membuat kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras keringat
jauh lebih panjang (double-burden) pada umumnya, disuatu rumah tangga ada
beberapa jenis pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki beberapa pekerjaan yang
dilakukan perempuan. Pada kenyataannya, dalam banyak observasi yang dilakukan
menunjukkan bahwa hampir 90% pekerjaan domistik dikerjakan oleh perempuan.
Terlebih-lebih bagi mereka yang bekerja seperti buruh industtri ataupun profesi
lainnya. Artinya mereka memiliki peran ganda (beban kerja dirumah tangga dan
diluar rumah).
·
Perbedaan gender
tersebut juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan (violence) terhadap kaum
perempuan, baik secara fisik ataupun secara mental. Keberagaman bentuk
kekerasan terhadap kaum perempuan terjadi karena perbedaan gender muncul dalam
berbagai bentuk, yaitu bersifat fisik seperti, pemerkosaan, persetubuhan,
antara anggota keluarga (incest) pemukulan dan penyiksaan, bahkan yang lebih
sadis lagi pemotongan alat genital perempuan dan lain sebagainya. Kekerasan
dalam bentuk nonfisik, yang sering terjadi misalnya pelecehan seksual,
menyebabkan ketidak nyamanan bagi perempuan secara emosional.
Perbedaan dan pembagian
gender dengan segenap manifestasinya, diatas mengakibatkan tersosialisasinya
citra, posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan yang ada. Dengan kata lain
segenap manifiestasi ketidakadilan gender itu sendiri merupakan proses
penjinakan (cooptatior) peran gender perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri
juga menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti ini sebagai sesuatu
yang normal dan kodrarti.
Hierarki Gender
Gender tidak bersifat universal, tetapi hirearki
gender dapat dikatakan universal, oleh karena kedudukan perempuan tidak dapat
dijelaskan dengan perbedaan jenis kelamin, maka kemudian lahirlah konsep gender
secara garis besar. Teori yang dikembangkan untuk menjelaskan hirearki gender
dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
1) Teori adaptasi awal
Teori adaptasi awal menyatakan bahwa adaptasi awal manusia merupakan awal
dibangun berdasarkan asumsi sebagai berikut :
·
Berburu sangat penting
bagi kelangsungan hidup nenek moyang kita.
·
Laki-lakilah yang
hampir selalu melakukan kegiatan berburu.
·
Perempuan tergantung pada
laki-laki untuk mendapatkan daging.
·
Laki-laki berbagi
daging buruannya terutama dengan isterinya dan anak-anaknya.
·
Sekali pola pembagian
peran berdasarkan jenis kelamin itu terbentuk, tidak berubah hingga
sekarang.
2) Teori teknik lingkungan
Teori ini berdasarkan pada apa yang dianggap sebagai hukum alam, yaitu
kelangkaan sumber daya dan tekanan penduduk. Teori ini menjelaskan bahwa upaya
untuk mengontrol pertumbuhan penduduk telah menjadi masalah sejak dulu, dalam
konteks ini subordinasi perempuan berakar pada peran reproduktif mereka.
3) Teori sosiobiologi
Menurut teori ini laki-laki muncul akibat seleksi alam terutama
ketahanan tubuh.
4) Teori sruktural
Teori ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa subordinasi perempuan adalah
kultural sekaligus Universal. Salah satu kelompok teori yang masuk golongan
struktural ini beranggapan bahwa perempuan mempunyai status yang lebih rendah
dan otoritas yang lebih sedikit daripada laki-laki. Dengan demikian status
relatif perempuan tergantung pada derajat keterlibatan mereka dalam arena
publik dan partisipasi laki-laki dalam arena domestik. Kelompok lain
dari teori struktural berpendapat bahwa subordinasi itu struktural, akan tetapi
ia berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender.pembagian kerja ini
bersumber pada asosiasi simbolik yang universal antara perempuan dengan
alam dan laki-laki dengan budaya.
Dalam wacana hubungan
Islam dan kesetaraan Gender perempuan, Islam memandang
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Kualitas
manusia dalam Islam terletak pada prestasi seseorang mengenal perbedaan jenis kelamin.
Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah (QS.4: 3). Islam
mengakui kedudukan antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Keduanya
diciptaka dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak
memiliki keunggulan atas yang lain.
Perbedaan jenis kelamin
bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender. Pandangan-pandangan yang
mengandung bias negatif terhadap perempuan, dan sering dinilai sebagai
pandangan ajaran islam, adalah tidak lain bersumber dari budaya patriak yang
menempatkan posisi sosial-politik laki-laki diatas perempuan, yang kemudian
menjadi tafsir keagamaan yang dijadikan legimitasi untuk mendominasi atas peran
perempuan. Reorientasi pemahaman agama harus dilakukan supaya dapat
menempatkan kedudukan dan peran perempuan pada proporsi benar.
[1]Alwi
Shihab, Islam…,340
[2]Bachtiar
Effendi, “Menyoal Pluralisme di Indonesia” dalam Living Together in Plural
Societies; Pengalaman Indonesia Inggris, ed. Raja Juli Antoni
(Yogyakarta: Pustaka Perlajar, 2002), 239-249.
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Polemik_pluralisme_di_Indonesia
[4]
Syafa’atun Elmirzanah, et. al., Pluralisme, Konflik dan Perdamaian Studi
Bersama Antar Iman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm, 7.
[5]
Tusriyanto,
M.Pd, Buku Ajar PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKn),( Metro; 2013),hlm. 269
Tidak ada komentar:
Posting Komentar